Legalitas sebagai Alat Tawar: Perlindungan atau Penindasan?
Legalitas sebagai Alat Tawar: Perlindungan atau Penindasan?

Legalitas sebagai Alat Tawar: Perlindungan atau Penindasan? legalitas seharusnya menjadi tameng. Ia dirancang untuk melindungi hak, memberi kepastian hukum, dan memastikan bahwa setiap tindakan atau transaksi berjalan sesuai koridor yang sah. Namun, dalam praktiknya, legalitas bisa berubah wujud dari pelindung menjadi alat tawar, bahkan senjata penindasan.

Legalitas Sebagai Tameng: Fungsi Idealis

Secara normatif, legalitas memberi pijakan yang kuat dalam segala bidang baik dalam bisnis, tata kelola pemerintahan, maupun kehidupan sosial. Dengan legalitas, pelaku usaha memiliki dasar hukum untuk beroperasi. Masyarakat pun merasa aman saat berinteraksi dengan entitas yang sah. Izin, sertifikat, dokumen hukum, semua itu menjadi simbol kepercayaan dan transparansi.

Contohnya, dalam bisnis UMKM, legalitas seperti izin edar, sertifikasi halal, atau NPWP memberi akses ke pasar yang lebih luas dan peluang untuk mendapatkan bantuan pemerintah atau investor.

Ketika Legalitas Menjadi Alat Tawar

Namun, di banyak kasus, legalitas justru diperlakukan sebagai komoditas politik atau alat tawar kekuasaan. Izin bisa ditahan, dipersulit, atau bahkan dijual mahal. Legalitas berubah jadi "kartu nego" dalam ruang-ruang abu-abu birokrasi.

Contoh nyata: sebuah usaha kecil bisa ditutup hanya karena tidak punya dokumen lengkap, sementara usaha besar yang melanggar aturan justru mendapat perlindungan karena "bermain di balik meja". Dalam konteks ini, legalitas tidak lagi menjadi alat perlindungan, melainkan kendali yang hanya bisa diakses oleh mereka yang punya kuasa atau uang.

Antara Regulasi dan Represi

Pertanyaan mendasarnya adalah: apakah legalitas benar-benar hadir untuk semua, atau hanya untuk segelintir yang mampu menjangkaunya? Di banyak daerah, pelaku usaha mikro terjebak dalam situasi dilema—mereka ingin legal, tapi prosedurnya terlalu rumit, memakan waktu, dan mahal. Di sisi lain, ketidaklegalan membuat mereka rentan terhadap razia, pungli, bahkan kriminalisasi.

Inilah titik di mana regulasi berubah menjadi represi. Ketika sistem lebih sibuk menuntut kepatuhan daripada membina, legalitas kehilangan sisi humanisnya.

Merebut Kembali Fungsi Asli Legalitas

Legalitas yang adil harus inklusif, mudah dijangkau, dan berpihak pada keadilan sosial. Bukan sekadar formalitas administratif, tapi jembatan untuk membangun kepercayaan antara warga, pelaku usaha, dan negara.

Pemerintah perlu mengedepankan pendekatan edukatif daripada represif. Reformasi birokrasi, digitalisasi layanan, dan transparansi prosedur adalah kunci untuk menjadikan legalitas sebagai alat perlindungan yang sebenarnya.

Penutup

Legalitas memang penting. Tapi ketika ia berubah menjadi alat tawar, pertanyaannya bukan lagi siapa yang patuh hukum, melainkan siapa yang bisa membeli hukum. Maka kita perlu terus bertanya: apakah legalitas saat ini benar-benar melindungi, atau justru menjadi bentuk penindasan yang dibungkus aturan?

Jika anda tertarik dengan website kami, anda dapat klik disini untuk mengunjungi lebih lanjut

No Responses