fbpx
Legalitas Industri Makanan
Legalitas Industri Makanan

Industri makanan memerlukan beberapa perizinan agar terjamin legalitas usahanya.”

Usaha makanan, terlebih pangan olahan, merupakan salah satu jenis bisnis yang begitu dinikmati. Hal ini mengingat minat pasar terhadap industri makanan yang tidak pernah turun.

Industri makanan terbagi menjadi industri rumahan (usaha mikro dan kecil) dan industri makanan dengan skala menengah hingga besar.

Pelaku usaha wajib mengetahui beberapa izin dasar yang harus dipenuhi dalam bisnis industri makanan agar kegiatan usahanya terjamin legalitasnya.

Perlu diketahui bahwa setiap jenis legalitas industri makanan membutuhkan perizinan berusaha yang berbeda berdasarkan jenis klasifikasi usahanya dan risiko kegiatan usahanya.

Persyaratan dasar untuk perizinan berusaha dalam legalitas industri makanan juga menjadi kunci agar dapat memastikan keamanan konsumen serta keberlanjutan bisnis.

Tujuan utama dari adanya berbagai perizinan berusaha yang harus diurus adalah untuk melindungi kesehatan dan keselamatan konsumen serta menjaga integritas produk pangan.

Oleh karena itu, industri makanan diharapkan bisa mengendalikan risiko terhadap penyebaran penyakit dan menjaga ekosistem lingkungan hidup.

Legalitas Badan Usaha Industri Makanan

Sebelum membuka bisnis industri makanan, maka harus ditentukan terlebih dahulu bentuk badan usahanya.

Umumnya, industri makanan dengan skala menengah hingga besar akan berbentuk perseroan terbatas (PT) dan persekutuan komanditer.

Dalam proses pendiriannya, kedua badan usaha tersebut harus sama-sama memiliki akta pendirian notaris dan pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Industri Makanan

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, kini perizinan berusaha didasarkan atas tingkat risiko. Hal inilah yang dikenal dengan perizinan berusaha berbasis risiko.

Pelaku usaha industri makanan dapat mengurus perizinan berusaha berbasis risiko melalui sistem Online Single Submission (OSS). 

Salah satu data yang perlu dimasukkan ketika mengurus perizinan berusaha tersebut adalah kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI).

Sebagai contoh, berikut adalah beberapa kode KBLI dalam industri makanan: 

KBLI 10750

Mencakup industri makanan siap saji (diolah, dibumbui, dan dimasak) untuk tujuan diawetkan dalam kaleng atau dibekukan dan biasanya dikemas dan dilabel untuk dijual kembali.

KBLI 10520

Mencakup usaha industri pengolahan susu bubuk atau susu kental atau krimer kental, susu evaporasi, dengan pemanis atau tidak dan industri pengolahan susu atau krim dalam bentuk yang padat, dan produk sejenis lainnya.

Setelah memilih kode KBLI yang tepat, maka dapat menentukan jenis perizinan berusaha berbasis risiko untuk industri makanan. Hal ini dilihat dari identifikasi tingkat risiko per KBLI kegiatan usaha.

Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha Berbasis Risiko

Namun, sebelum mendapatkan perizinan berbasis risiko, diperlukan persyaratan dasar.

Beberapa di antaranya meliputi:

  1. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).
  2. Persetujuan lingkungan, yang tergantung dari skala usaha dan tingkat risikonya, meliputi:
    • Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL);
    • Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL – UPL); atau
    • Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal).
  3. Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Berlaku bagi pemilik bangunan gedung untuj memproduksi pangan olahan.

Izin Produksi untuk Pangan Olahan

Izin produksi untuk makanan (pangan olahan) masuk dalam jajaran Perizinan Berusaha untuk Menunjang Kegiatan Usaha (PB UMKU), di antaranya meliputi izin edar pangan olahan dan SPP-IRT.

Adapun kepanjangan dari SPP-IRT adalah Sertifikat Pemenuhan Komitmen Produksi Pangan Olahan Industri Rumah Tangga, yang dulunya dikenal dengan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga.

Sertifikasi Halal

Dalam bisnis pangan olahan yang mengklaim bahwa bahan bakunya halal, maka sertifikasi halal merupakan aspek yang harus dipenuhi.

Namun, apabila tidak mengandung bahan baku halal (haram), maka dikecualikan dari proses sertifikasi halal.

Kemudian, Sertifikat Halal yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) akan menjadi bukti bahwa produk tersebut memenuhi standar kehalalan yang ditetapkan oleh hukum dan syariat Islam.

PT DNA MITRA TEKNIK

No Responses